Setelah Haid, Kapan Sebaiknya Berhubungan dengan Istri? Inilah Jawaban Islam

Jalantauhid - “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh.
Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, hingga mereka suci. apabila mereka telah bersuci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri,” (Al-Baqarah; 222).

Setelah Haid, Kapan Sebaiknya Berhubungan dengan Istri? Inilah Jawaban Islam
Sumber: Islampos.com
ISLAM telah dengan sangat tegas melarang suami berhubungan dengan istrinya ketika istri sedang haid. Tujuh hari—atau bahkan lebih—mungkin waktu yang sebentar, tapi bisa jadi sangat lama bagi seorang suami yang sudah “rindu” akan istrinya. Nah, kapan boleh berhubungan istri setelah haid selesai?

Dalam permasalahan ini, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa suami boleh berhubungan dengan istri apabila telah berlalu waktu sholat atau darah telah berhenti setelah sepuluh hari haidh (batas lamanya haidh menurut Abu Hanifah). Karena menurut beliau wanita tersebut telah suci.

Adapun Jumhur ulama menyatakan bahwa suami tidak boleh berhubungan dengan isterinya yang berhenti dari haidh sebelum isterinya itu bersuci, baik dengan mandi ataupun bertayammum ketika tidak ada air. Hal tersebut sebagaimana yang Allah firmankan: “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran.” Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci . Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri,” (QS. Al-Baqarah: 222).

Mujahid berkata: yang dimaksud dengan “Hatta Yathurna” adalah berhenti darahnya. Sedangkan “Faidzaa Tathoharna” bersuci dengan mandi. (HR Abdurrozaq No. 1272, Baihaqi 1/310).

Imam Nawawi berkata “Ketahuilah bahwa keharaman melakukan hubungan badan bagi mereka yang berpendapat demikian berlaku pada saat isteri sedang haidh atau setelah darahnya berhenti sebelum wanita tersebut mandi atau bertayammum jika tidak ada air. Ini adalah pendapat madhab kami, Imam Malik, Imam Ahmad dan Jumhur Ulama salaf dan kholaf,” (Syarah Muslim Lin-Nawawi 1/593).
Ibnu Taimiyyah berkata: “Adapun wanita yang haidh, apabila darahnya telah berhenti maka suaminya tidak boleh menggaulinya sampai ia mandi terlebih dahulu jika mampu melaksanakannya atau bertayammum sebagaimana pendapat Jumhur ulama seperti Imam Malik, Ahmad dan Syafi’I,” (Majmu’ Al-Fatawa 21/624).

Imam Atho ditanya tentang hal tersebut berkata: “tidak boleh sampai wanita tersebut mandi terlebih dahulu.” Demikian juga pendapat Salim bin Abdulloh dan Sulaiman bin Yasar. (HR Abdurrozzak, Malik dan Al-Baihaqi) Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata: “Para ulama telah sepakat bahwa wanita yang telah berhenti haidnya tidak boleh digauli oleh suaminya sampai ia mandi dengan air atau bertayammum jika memiliki udzur.”

Dengan melihat dalil-dalil di atas, maka pendapat Jumhurlah yang mungkin paling kuat, karena sesuai dengan fiman Allah di atas karena kebolehan berhubungan disyaratkan setelah tathohhur yang berarti mandi atau tayammum jika tidak memungkinkan untuk mandi. 

[Sumber: Syariah Online]