Pernikahan hendaknya diletakkan sebagaimana
petunjuk dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam. Jangan digampangkan.
Jangan pula dipersulit. Lakukan ibadah ini sebagaimana pernah
diajarkan dan dianjurkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam.
Pun jika harus menolak, tolaklah lamaran seorang laki-laki sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam pernah mengajarkannya.
Pun jika harus menolak, tolaklah lamaran seorang laki-laki sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam pernah mengajarkannya.
Sumber: Keluargacinta.com |
Di antaranya dalam riwayat berikut ini, dua orang laki-laki ditolak lamarannya oleh Rasulullah.
Abu ‘Amr bin Hafsh mengisahkan tentang Fathimah binti Qais. Janda. Setelah selesai masa tunggunya, dia mendatangai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam untuk meminta pertimbangan. Sang janda mulia ini dilamar oleh dua laki-laki. Dua orang yang melamar Fathimah bin Qais adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm. Terhadap dua orang laki-laki ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menolaknya.
“Abu Jahm,” terang Rasulullah menjelaskan, “merupakan orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. Sedangkan Mua’wiyah seorang yang miskin. Tidak berharta.”
Ungkapan yang disampaikan terkait Abu Jahm merupakan karakter yang keras, kejam, dan sering bepergian, merantau. Sedangkan Mu’awiyah, meski kelak menjadi pemipin pengganti Ali bin Abu Thalib merupakan orang miskin.
Apakah ini bisa dijadikan dalil bagi sebagian kita yang menolak lamaran laki-laki hanya karena kemiskinanya? Tidak! Sebab dalam kelanjutan riwayat ini, Rasulullah mengatakan, “Oleh karena itu, menikahlah dengan Usamah bin Zaid.”
Rasulullah memiliki opsi ketiga yang lebih baik dan lebih cocok perangainya dengan Fathimah binti Qais. Perangai ini sangat penting, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi saat menolak lamaran Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab, tapi meminta Ali bin Abi Thalib untuk menjadi suami bagi anaknya, Fathimah binti Muhammad.
Kecocokan karakter ini penting. Ianya bisa menjadi salah satu sebab bahagia dan berkahnya sebuah rumah tangga, tentunya dalam balutan iman dan taqwa kepada Allah Ta’ala.
Selanjutnya, Fathimah binti Qais menyampaikan keberatan. Dia tidak mencintai Usamah bin Zaid. “Akan tetapi, aku tidak suka kepadanya.” ujar Fathimah.
Namun, Nabi mempertegas perintahnya, “Menikahlah dengan Usamah bin Zaid!”
Mendengar perintah tersebut, Fathimah binti Qais pun taat. Keduanya menikah dalam naungan berkah.
“Setelah menikah dengannya,” ungkap Fathimah binti Qais sebagaimana disebutkan dalam riwayat Imam an-Nasa’i ini, “Allah ‘Azza wa Jalla memberikan kebaikan kepadaku dengan dirinya, sehingga aku dicemburui oleh wanita-wanita lain.”
Kepada para wali dan Muslimah, teliti dan hati-hatilah. Jangan asal menerima, apalagi langsung menolak tanpa dasar yang dikuatkan oleh syariat Islam.
Abu ‘Amr bin Hafsh mengisahkan tentang Fathimah binti Qais. Janda. Setelah selesai masa tunggunya, dia mendatangai Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam untuk meminta pertimbangan. Sang janda mulia ini dilamar oleh dua laki-laki. Dua orang yang melamar Fathimah bin Qais adalah Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan Abu Jahm. Terhadap dua orang laki-laki ini, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menolaknya.
“Abu Jahm,” terang Rasulullah menjelaskan, “merupakan orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya. Sedangkan Mua’wiyah seorang yang miskin. Tidak berharta.”
Ungkapan yang disampaikan terkait Abu Jahm merupakan karakter yang keras, kejam, dan sering bepergian, merantau. Sedangkan Mu’awiyah, meski kelak menjadi pemipin pengganti Ali bin Abu Thalib merupakan orang miskin.
Apakah ini bisa dijadikan dalil bagi sebagian kita yang menolak lamaran laki-laki hanya karena kemiskinanya? Tidak! Sebab dalam kelanjutan riwayat ini, Rasulullah mengatakan, “Oleh karena itu, menikahlah dengan Usamah bin Zaid.”
Rasulullah memiliki opsi ketiga yang lebih baik dan lebih cocok perangainya dengan Fathimah binti Qais. Perangai ini sangat penting, sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi saat menolak lamaran Abu Bakar ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab, tapi meminta Ali bin Abi Thalib untuk menjadi suami bagi anaknya, Fathimah binti Muhammad.
Kecocokan karakter ini penting. Ianya bisa menjadi salah satu sebab bahagia dan berkahnya sebuah rumah tangga, tentunya dalam balutan iman dan taqwa kepada Allah Ta’ala.
Selanjutnya, Fathimah binti Qais menyampaikan keberatan. Dia tidak mencintai Usamah bin Zaid. “Akan tetapi, aku tidak suka kepadanya.” ujar Fathimah.
Namun, Nabi mempertegas perintahnya, “Menikahlah dengan Usamah bin Zaid!”
Mendengar perintah tersebut, Fathimah binti Qais pun taat. Keduanya menikah dalam naungan berkah.
“Setelah menikah dengannya,” ungkap Fathimah binti Qais sebagaimana disebutkan dalam riwayat Imam an-Nasa’i ini, “Allah ‘Azza wa Jalla memberikan kebaikan kepadaku dengan dirinya, sehingga aku dicemburui oleh wanita-wanita lain.”
Kepada para wali dan Muslimah, teliti dan hati-hatilah. Jangan asal menerima, apalagi langsung menolak tanpa dasar yang dikuatkan oleh syariat Islam.