Sebuah Kisah yang Menyedihkan....!! Ketika Kehilangan Orang yang Dicintai, Relakanlah.....

Jalantauhid - Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda,
“Allah swt berfirman: Tidak ada balasan di sisi-Ku untuk seorang hamba-Ku yang beriman, jika Aku cabut kekasihnya dari penduduk dunia, kemudian ia merelakannya dengan berharap pahala dari-Ku, kecuali surga.” (HR Bukhari)
Sebuah Kisah yang Menyedihkan....!! Ketika Kehilangan Orang yang Dicintai, Relakanlah.....

Hadits Rasulullah saw ini berbicara tentang seseorang yang sangat dicintai, istilah haditsnya: shofiyyahu. Katashofiy berasal dari kata shofa – yashfu – shofwan, yang pada asalnya menunjuk kepada keadaan suatu air yang sangat bening, jernih yang tidak mengandung kotoran sama sekali. Ia juga menunjuk pada sesuatu yang telah mengalami proses seleksi dan pemilihan berkali-kali sehingga menghasilkan sesuatu yang paling jernih dan paling baik. Ibarat lumpur minyak bumi yang mesti memasuki kilang, diproses dan diproses lagi, sehingga menghasilkan kualitas minyak atau bahan bakar yang paling jernih dan paling bening.
 
Yang Diutamakan 
Kata tersebut mempunyai akar penggunaan juga dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi saw. Substansinya menjelaskan bahwa dari sekian umat manusia, Allah swt memilih para nabi dan rasul. Lalu, dari para nabi dan rasul ini Allah swt memilih ulul azmi, dan dari para ulul azmi ini Allah swt memilih Rasulullah saw, maka beliau saw adalah shofiyyullah, pilihan Allah swt yang telah mengalami berlapis-lapis pemilihan dan seleksi. 

Kata shofiy juga mengandung makna kedekatan, di samping mengandung makna pemilihan dan kejernihan. Sehingga, seseorang yang disebut shofiy menunjukkan bahwa dia adalah seseorang yang mempunyai kedekatan. 

Dengan demikian, seseorang yang menjadi shofiy bagi dirimu, sebagaimana yang disebut dalam hadits nabi yang sedang dibahas ini, adalah seseorang yang engkau utamakan. Seseorang yang antara dirimu dengan dirinya mempunyai hubungan hati yang luas dan mendalam. 

Sewaktu Rasulullah saw wafat, Abu Bakar Ash-Shiddiq ra datang ke tempat putri beliau, ummul mukmininAisyah ra, untuk melihat dan memastikan wafatnya Rasulullah saw. Setelah melihat Rasulullah saw, maka Abu Bakar ra berkata, “wa shafiyyaah...,” wahai orang yang menjadi shofiy saya. Begitulah memang, selama ini Rasulullah saw mendapatkan tempat, perhatian dan perlakuan, baik secara lahir maupun batin, yang sangat istimewa dari Abu Bakar Ash-Shiddiq. 

Shofiy dalam arti seperti ini bisa terjadi pada seorang suami terhadap istrinya atau dari seorang istri terhadap suaminya. Dalam arti, istri atau suami yang mendapatkan tempat, perhatian dan perlakuan yang sangat istimewa. Pun terjadi pada seorang ayah terhadap anaknya atau sebaliknya, sebagaimana juga bisa terjadi pada seseorang terhadap saudaranya, temannya, gurunya, muridnya, kyainya dan sebagainya. Saat shofiy tersebut hilang karena “dipanggil” oleh Allah swt, tentunya yang memilikinya akan merasakan rasa kehilangan yang amat berat.
 
Allah Mencabut Shofiy  

Dalam hadits-hadits lain disebutkan beberapa peristiwa yang menggambarkan adanya para sahabat Nabi saw yang kehilangan shofiy ini, di antaranya:
1.      Ummu Salamah ra merasa sangat kehilangan dan terasa berat sekali baginya untuk menerima wafatnya Abu Salamah ra, suaminya. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Salamah ra adalah shofiy bagi Ummu Salamah ra. 

2.      Ada juga kisah seorang ibu yang kehilangan putra semata wayangnya. Maka ia tangisi dan ratapi kepergian sang anak ini. Sampai akhirnya Rasulullah saw memerintahkan kepadanya untuk bersabar dan merelakannya. 

3.      Khansa’ ra di masa jahiliyah ditinggal mati oleh saudara lelakinya yang bernama Shakhr, dia merasa sangat kehilangan. Sebab baginya Shakhr adalah segala-galanya, ia adalah kebanggaannya, bahkan kebanggaan sukunya. Lalu dia menggubah sebuah syair yang mengungkapkan rasa dukanya itu. Saat Khansa’ masuk Islam, Rasulullah saw memintanya untuk membacakan syair duka itu. Sampai akhirnya Rasulullah saw bersabda, “Cukup wahai Khansa.” 

4.      Saat kepergian Rasulullah saw semua sahabat Nabi berduka, sebab bagi mereka Rasulullah saw adalahshofiy. Tentunya dengan tingkatan yang berbeda-beda, meskipun semuanya berada di tingkat kecintaan yang tertinggi dibandingkan generasi umat Islam lainnya. 

Perlu Kesadaran Keimanan
Hilangnya orang yang sangat dicintai memang terasa sangat berat di dalam hati. Namun, orang yang beriman menyadari bahwa Zat yang Mahahidup hanyalah Allah swt, bahwa Allah-lah Al-Malik (Sang Pemilik), bahwa semuanya berasal dari Allah swt dan akan kembali kepada-Nya. 

Kesadaran imani seperti ini perlu dimiliki dan ditarbiyahkan, terlebih lagi kepada kaum perempuan, yang terkadang sebagian kaum lelaki terpengaruh oleh duka mereka. Jika kesadaran seperti ini dipunyai oleh perempuan, hingga ia memiliki ketabahan, maka kaum lelakinya akan menjadi tabah pula. 

Kulitas iman semacam inilah yang pada kemudian hari dimiliki oleh Khansa’ ra, setelah dia beriman, saat ia kehilangan tiga orang putranya yang secara hampir bersamaan gugur sebagai syuhada dalam Perang Qadisiyah. Khansa’ yang dahulunya meratapi kepergian saudara lelakinya, berubah menjadi Khansa’ yang tabah dan tegar saat kehilangan tiga putranya sekaligus. 

Para sahabat Nabi pun memperlihatkan kualitas iman seperti ini saat kehilangan Rasulullah saw. Betapapun duka yang sangat mendalam yang mereka rasakan, akhirnya mereka menyadari bahwa kecintaan mereka kepada Rasulullah saw perlu ditumpahkan dalam bentuk yang lain, yaitu konsisten dengan keimanan dan memperjuangkan keimanan. Karena itu, mereka melanjutkan perjuangan dalam bentuk tausi’ah, yaitu berjihadfi sabilillah, futuhat (penaklukkan), maupun berjihad dalam bentuk taurist, menyiapkan generasi imani yang melanjutkan perjuangan mereka.
 
Musyafa Ahmad Rahim, Lc, MA
Seri Ahadits Takwiniyyah Lil Mar’ah Al-Muslimah